“Bapaakkkk..Ibuuuu…. mas Ardi sudah nggak ada….”
Terdengar suara kakak ipar yang adalah istri dari mas Ardi di voice note sambil histeris. Pas denger itu rasanya jantung mau copot, kaget setengah mati.
Rasanya ngga percaya bahwa ini benar terjadi. Memang kakak Ipar sudah kasih tau bahwa mas Ardi masuk ruang IGD dan isolasi karena waktu diperiksa pakai xray ternyata di paru-parunya ada bercak-bercak. Dicurigai sebagai covid, makanya diisolasi. Tapi hasil belum keluar, dan 2 hari sebelumnya masih bisa video call dengan kami adik-adiknya, dan dia mengepalkan tangan tanda bahwa dia bersemangat.
Nggak nyangka bahwa itu adalah pertemuan via video call terakhir dengan dia. Sedih sekali..
Mas Ardi adalah kakak kami yang no 2 dari 8 bersaudara. Kami memang keluarga besar, 8 orang anak. Tapi bapak saya punya impian yang besar yaitu bahwa anak-anaknya harus kuliah di PTN. Alasan utamanya karena kalau di PTN swasta mahal dan ngga ada biaya. Jadi mas Ardi berusaha sekuat tenaga hingga akhirnya diterima di Universitas Indonesia Fakultas Psikologi.
Alasan tidak mendapat supply keuangan yang memadai tiap bulan jugalah yang membuat dia akhirnya mengambil beasiswa dari militer lewat jalur DIKPAMILSUK ( Pendidikan Perwira Militer Sukarela ) TNI AD agar kuliah selanjutnya dibiayai oleh negara. Memang TNI sejak lama menawarkan beasiswa untuk menjadi perwira militer kepada kampus-kampus agar yang masuk TNI nggak hanya dari akmil tapi juga dari jalur professional dan studi yang berbeda.
Karirnya cukup bagus sampai dengan pangkat terakhirnya yaitu Kolonel di Dinas Psikologi Angkatan Darat.
Saya termasuk yang paling dekat dengannya karena kuliah di Bandung, dan kebetulan mas Ardi ini ditempatkan di Dinas Psikologi di kota Bandung juga. Sejak masih bujangan, masih tinggal di kamar pojokan di mess KPAD, kadang ngikut tidur, berdesakan di kasur yang sempit, sampai kemudian dia harus berangkat ke Timor-timur dan disana ketemu calon istrinya yang selanjutnya menjadi istrinya.
Kembali dari Timtim, pindah rumah dan menyewa di jalan Picung, karena rencana mau menikah. Saya ngikut juga tinggal disana, sambil kuliah. Biasanya saya pulang kuliah duluan dan masak buat kami berdua makan malam. Seadanya sih, berapa sih gaji letnan satu pada waktu itu.. kecil sekali. Sampai akhirnya mas Ardi dan mbak Selvi menikah dan tinggal di Picung juga.
Saya akhirnya memilih untuk ngekost saja biar bebas hehehe… mereka punya anak pertama, dan waktu anak masih umur 4 bulan, mas Ardi harus kuliah ke Australia. Mbak Selvi kemudian kembali ke kota Menado. Tak lama kemudian mas Selvi menyusul untuk tinggal di Australia dan disana lahir anak kedua.
Banyak sekali kenangan yang kami lalui bersama, beberapa kali pindah rumah sampai akhirnya sekarang menetap di jalan Simpang Cimahi dan anak tertua sudah masuk Akmil.
Sampai saat mas Ardi meninggal, masih belum jelas dari mana dia mendapat virus tersebut. Memang ada beberapa spekulasi dan kemungkinan, namun itu sudah ngga penting lagi. Toh dia telah pergi mendahului kami semua. Bahkan saat-saat terakhirnya pun kami tidak bisa mengantar sampai peristirahatan terakhir. Hanya mobil jenasah dan 1 mobil berisi tentara dari kodim yang membawa jenasahnya ke makam. Jujur karena situasi yang tidak memungkinkan, kami sekeluarga belum ada yang ziarah ke makamnya mas Ardi.
Sebenarnya malam terakhir sebelum dia meninggal, Tuhan menggerakkan saya berdoa buat jam 1 malam. Saya berdoa namun seandainya kami bisa mengetahui lebih awal bahwa dia kena covid mungkin akan lebih ngotot doanya. Tapi pada akhirnya kehendak Tuhan yang jadi atas semuanya.
Hari itu tanggal 23 Maret 2020, yang juga adalah tanggal lahirku, kami kehilangan seseorang yang sangat kami kasihi.
Dia tidak mungkin bangkit lagi, kamilah yang akan menemui mas Ardi pada saatnya nanti di Sorga. Mas Ardi tetap hidup di hati setiap kami, di hati istri dan anak-anaknya, di hati kami kakak dan adik-adiknya sampai selamanya.
Selamat jalan mas.. Tuhan lebih sayang sama mas dan tahu yang terbaik untuk kita semua.